Sebuah Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan

Saya menyiapkan mental cukup lama untuk menulis artikel ini. Ada banyak hal yang tidak saya pahami di sini. Pertama tentang kejadian tragedi yang sangat mengerikan itu. Sangat mengagetkan karena memakan ratusan korban jiwa yang kebanyakan masih anak di bawah umur, padahal tragedi ini melibatkan aparat yang sebenarnya bertugas menjaga keamanan di lokasi.

Dan yang kedua, mungkin ini juga menjadi pertanyaan banyak orang. Sebegitu fanatiknya pecinta sepak bola Indonesia. Dalam hal ini Aremania, mempertaruhkan segalanya demi menonton pertandingan klub sepak bola yang mereka dukung – yang selanjutnya, ternyata mengorbankan nyawa mereka sendiri. Kita tidak menghakimi alasan mereka bertaruh nyawa, tidak. Karena tidak ada satu pun orang di dunia ini yang sengaja menyodorkan nyawanya untuk tergadaikan demi menonton sebuah pertandingan sepak bola. Kejadian ini adalah musibah besar yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun.

Kronologi kejadian dan jalannya investigasi terhadap kasus tersebut bukan wewenang saya untuk membahas di sini. Kita semua sudah setiap hari disodori berita viral yang terkait hal ini. Dan jika kita ingin mengetahui perkembangannya silakan simak di segala platform media sosial yang selalu up date setiap waktu.

Yang menjadi fokus perhatian saya adalah sisi lain.

Sebuah Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan : Peta Psikologis Aremania Yang Tidak Kita Pahami

Yang mungkin tidak begitu terperhatikan banyak orang yang saat ini sibuk mengikuti perkembangan kasusnya. Serta sibuk berkomentar dengan yang tersuguhkan media sosial. Sisi lain itu adalah peta psikologis, mental, idealisme, fanatisme dan militansi dari supporter sepak bola Indonesia. Khususnya di sini adalah Aremania, yang kemungkinan besar hal tersebut tidak ada di negara lain di seluruh dunia.

Jika sampai saat ini masih ada komentar netizen yang menghakimi dan menyalahkan Aremania secara sepihak dengan kata-kata misalnya, “salah sendiri, kenapa bawa-bawa anak kecil, balita ke stadion”. Atau ” kog segitunya banget sih, kan cuma urusan nonton pertandingan, kan bisa menonton di TV”. Atau “cuma urusan menonton sepakbola saja dibela-belain sampai kayak gitu, bodohlah” atau apapun komentar lain yang senada. Saya berharap agar kita semua berpikir ulang, bahwa ternyata ada banyak hal yang tidak kita pahami tentang peta pemikiran dan kondisi psikologis supporter secara kolektif. Sehingga sikap fanatik terhadap sepak bola itu begitu mengakar kuat, turun temurun. Mungkin ini memang terjadi secara umum di dunia persupporteran sepak bola di Indonesia. Bukan hanya Aremania, seperti yang kita dengar dari penuturan si Komentator yang mengundurkan diri, Valentino Jebret, waktu undangan ke podcastnya DC beberapa waktu lalu. Namun di sini yang saya amati hanya Aremania, karena sedang menjadi sorotan.

Sebuah Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan : Peta Psikologis Aremania Yang Tidak Kita Pahami

Saya mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk penelitian mengenai peta psikologis Aremania. Dari berbagai postingan dan unggahan serta komentar para Aremania di berbagai media sosial. Serta secara khusus mengobrol dengan seorang Arema dan Aremania senior. Yang dulunya pernah berada di posisi sikap sangat fanatik, sangat militan memberikan dukungannya terhadap klub sepak bola asal Malang itu. Arema adalah singkatan dari Arek Malang, anak-anak atau orang-orang yang berasal dari daerah Malang. Nama klub sepak bolanya Arema FC, nama supporternya Aremania untuk laki-laki dan Aremanita untuk supporter perempuan. Supporter ini tidak hanya berasal dari daerah Malang, tapi dari berbagai daerah di Jawa Timur yang mengidolakan klub sepak bola Arema FC, dan semua menyebut dirinya Aremania-Aremanita.

Keterangan yang saya dapatkan begitu membuat saya tercengang. Fanatisme dan militansi dari para supporter ini bagi saya sangat di luar nalar. Minimal akal saya tidak masuk, ini gila. Ini fenomena psikologis kolektif macam apa? Ini adalah kondisi jiwa yang sangat misterius dari para supporter itu. Mungkin bagi orang lain ini suatu hal yang konyol atau malah dianggap semacam kebodohan.

Tapi bagi saya hal tersebut sangat menarik untuk kita pelajari. Ternyata ada kondisi psikis, peta mental dan jiwa secara kolektif yang sangat militan terhadap sesuatu hal, tanpa syarat, tanpa komando, tanpa jaminan apapun. Dan itu rasanya diwariskan turun temurun. Peta itu menggambarkan kesatuan, kemenyatuan, loyalitas, solidaritas, patriotisme, kerelaan dan kecintaan yang mendalam, yang melekat pada jiwa-jiwa mereka. Dan ini terbentuk secara mengalir, tanpa ada yang mengkoordinasi, tanpa ada organisasi yang mewadahi, tanpa ada pihak yang memberikan jaminan keselamatan. Bahkan keberadaan mereka ini mungkin tidak masuk perhitungan oleh klub sepak bola yang mereka dukung.

Jadi mereka ini para supporter, para Aremania ini, mereka “menciptakan dunianya sendiri”, yang sesungguhnya jika mau jujur, terpisah jauh dengan gap yang begitu lebar dengan klub sepak bola Arema FC. Mereka membentuk Korwil, punya dirijen, punya jubir. Apakah klub dan korporasi mau tau? tidak.

Betapa tidak, dari info yang saya dapatkan, sudah bukan rahasia lagi bahwa klub sepak bola tersebut saat ini tidak lebih hanya semacam perusahaan pencari laba. Provit oriented, yang bernaung di bawah federasi dan otoritas. Sebanyak-banyak laba yang mereka dapatkan tidak akan pernah menyenggol sedikitpun dunia dari para supporter. Tidak memberikan kontribusi keuntungan sedikitpun untuk para Aremania.

Kecuali sebatas “kepuasan semu” yang sejatinya harus diperjuangkan dengan tetesan peluh dan berbagai pengorbanan. Justru para supporter inilah yang menyumbang banyak uang dan keuntungan dari penjualan tiket masuk ke stadion pertandingan untuk klub yang mereka dukung serta korporasi yang menaunginya. Padahal untuk membeli tiket yang seharga puluhan sampai ratusan ribu itu bagi kalangan bawah adalah harga yang tidak murah. Dibela-belain menabung beberapa hari untuk bisa membeli tiket – ini adalah cerita dari banyak Aremania dalam tragedi Kanjuruhan tempo hari. Dan semua ini demi apa? (sebagai info selewat – hal inilah yang selanjutnya membuat sebagian Aremania senior kemudian secara teratur mundur dari dunia persupporteran Arema FC. Yang dulunya begitu militan dan fanatik membabi buta, menjadi hanya sebagai pendukung jarak jauh, menonton secara online, tanpa perlu susah payah datang ke stadion, menang atau kalah menjadi hal biasa, tidak begitu melekati pikiran mereka lagi).

Namun bagi supporter yang terbentuk dari generasi millenial saat ini. Ketika militansi dan fanatisme itu tertanam begitu kuat dan kental tetap saja menciptakan keadaan peta psikis misterius seperti yang saya paparkan di atas sehingga menarik untuk penelitian. Saya berani berasumsi dan berspekulasi bahwa membahas Aremania itu sebenarnya kita tidak sedang membicarakan arek-arek Malang. Kita tidak sedang membicarakan klub sepak bola Arema FC. Tetapi Aremania yang ternyata adalah sekelompok orang yang menciptakan dunianya sendiri dengan keadaan mental dan emosinya sendiri yang terpisah jauh dari sekedar dunia persepakbolaan, sekedar olah raga permainan yang berujung kalah dan menang, sekedar asyik-asyikan berkumpul menonton pertandingan klub kesayangan. Tidak sesederhana itu.

Sebuah Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan : Peta Psikologis Aremania Yang Tidak Kita Pahami

Seperti saya katakan sebelumnya, ada kesatuan dan kemenyatuan, solidaritas dan loyalitas, kekompakan yang luar biasa yang seolah jika terpetakan bisa menjadi sebuah kekuatan besar yang tersembunyi milik bangsa ini. Kekuatan itu berasal dari jiwa-jiwa purba yang sedang bangkit mengejawantah yang secara kebetulan (tetapi bukankah tidak ada yang namanya kebetulan?) di pertemuan dan beresonansi dalam satu frekuensi oleh dunia sepak bola. Sepak bola hanya media, boleh pakai boleh tidak. Kekuatan besar itu perolehan dari kebersamaan dan kemenyatuan, jadi jargon mereka. “Salam Satu Jiwa” itu sungguh bukan hal yang remeh. Itulah sebabnya ketika tragedi Kanjuruhan itu terjadi, tidak hanya keluarga korban yang merasakan sakitnya. Tetapi seluruh Aremania di seluruh penjuru negeri ikut menanggung duka mendalam, trauma yang tidak mudah sembuh. Dan “derita jiwa” yang terasa hampir oleh semua dari mereka.

Kisah dari seorang Aremania senior, yang sebenarnya juga sudah pensiun lama dari persupporteran militan. Beliau ini mengalami kondisi kejiwaan yang lumayan kritis, trauma yang sangat mengerikan, akibat banyaknya korban meninggal. Dan penderitaan korban selamat yang jumlahnya juga ratusan akibat tragedi itu. Beliau ini semenjak hari H kejadian sampai artikel ini saya tulis, tidak ada hari tanpa mabuk alkohol. Ia takut sadar dan normal. Ketika sadar ia akan ingat traumanya. Maka setiap merasa agak sadar ia akan minum alkohol lagi dan lagi.

Sedemikian parahnya rasa sakit jiwa atas tragedi itu, meski bukan anggota keluarganya yang menjadi korban, tapi sesuai “janji” mereka “Salam Satu Jiwa”.

Maka rasa sakit dan penderitaan itu terasa sama seperti jiwanya sendiri, karena mereka satu jiwa. Kisah ini hanya satu contoh dari ratusan bahkan ribuan kondisi kejiwaan dari para Aremania pasca kejadian mengeringan di Kanjuruhan, baik yang mengalami kejadian di TKP atau di berbagai tempat berada.

Tentang “Salam Satu Jiwa”, dalam dunia spiritual bermakna sangat dalam. Semua keberadaan di alam semesta ini berasal dari Sumber Yang Satu, berasal dari Satu Jiwa, berada di dalam Yang Satu, dan pada akhirnya juga akan kembali menyatu dengan yang Satu Jiwa itu. Kenapa mereka menggunakan jargon itu? Apakah itu kebetulan? Hanya mereka yang bisa menjawabnya. Atau mungkin mereka sendiri juga tidak begitu paham maknanya yang begitu dalam?

Nama stadion Kanjuruhan juga bukan hal remeh. Itu adalah nama kerajaan besar pada jaman purba raya di daerah Jawa Wetan.

Dan kenapa juga gerbang yang mengantarkan banyak jiwa kehilangan nyawa itu adalah pintu nomor 13? Sedangkan di banyak negara, di berbagai kepercayaan menganggap angka 13 ini misterius, menakutkan bahkan beranggapan angka sial. Di Hong Kong tempat saya tinggal, banyak sekali kompleks bangunan yang tidak mau memakai nomor 13. Tidak ada gedung apartemen nomor 13, tidak ada lantai 13, tidak ada laci loker penyimpanan nomor 13, dll. Mereka mengurutkan angka 12, 12A, dan langsung 14. Tetapi ini tergantung kepercayaan masing-masing wilayah. Untuk pengetahuan saja, mulai hari H tragedi terjadi sampai hari ini, pintu 13 stadion Kanjuruhan tidak pernah sepi pengunjung. 24 jam selalu ada yang “Nyekar” atau menabur bunga dan berdoa (dari berbagai agama) di depan pintu maut tersebut. Itu sudah seperti kuburan massal saja, tumpukan bunga setinggi satu meter lebih. Bau asap dupa, pernak pernik bawaan orang saat berdoa dsb tumplek blek di sana (info dari nara sumber saya).

Selanjutnya nama Arema sendiri ternyata juga tidak sekedar singkatan Arek Malang.

Tetapi nun jauh di beberapa abad lampau ada seorang pembesar bernama Kebo Arema. Kebo Arema yang disebut-sebut sebagai Mahapatih Kerajaan Singhasari yang kepercayaan sebagian besar masyarakat berlokasi di daerah Malang saat ini. Kebo Arema adalah patih sekaligus penasihat Raja pada masa itu. Sedangkan patung Singa di depan stadion melambangkan trah generasi penerus dari kerajaan Singhasari sesuai yang mereka yakini, maka mereka Aremania juga menyebut diri sebagai Singa edan.

Semua yang saya sebutkan mengenai lambang, simbol, angka, jargon dan keterkaitan dengan sejarah kerajaan masa lampau itu mungkin saja berhubungan dengan peta kolektif keadaan psikologis dan mental dari supporter Aremania yang begitu militan, solid dan loyal, seperti sebuah kekuatan besar yang menunggu untuk kebangkitan. Kekuatan yang juga menjadi salah satu penopang kekuatan bangsa kita jika kita kelola secara bijak, sekaligus menjadi ancaman yang menghancurkan jika sampai termanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Di sini saya sertakan copy paste dari artikel yang tertulis seorang Aremania yang saya temukan di sosial media, bisa menjadi tambahan informasi.

MELIHAT AREMANIA DAN AREMA, TIDAK BISA SEKADAR TENTANG SEPAKBOLA, APALAGI CUMA MENANG KALAH

Jika hanya menang kalah, maka akan jarang orang yang mau mendukung Arema (atau klub medioker, atau bahkan papan bawah lain) karena prestasinya tidak sementereng klub lain.

Sebuah fakta lain adalah di tahun 2022 Arema sudah dua kali kalah di Stadion Kanjuruhan. Termasuk salah satunya melawan Persib Bandung yang selama 12 tahunan ke belakang dianggap salah satu rival Arema.

Jangankan kalah-menang, fakta bahwa pada tahun 2003 Arema terdegradasi ke kasta kedua pun tidak membuat fanatisme Aremania berkurang. Boleh cek data (kalau ada datanya) penonton terbanyak Liga Pertamina Divisi 1 2004 (kasta kedua) dipegang klub mana? Karena secara kasat mata tribun Stadion Gajayana Kota Malang saat itu masih padat, meski Arema main di kasta kedua, dan kick off pada sore hari.

Arema bermakna luas bagi orang Malang. Bukan cuma soal sepakbola apalagi hanya menang kalah.

Hadirnya Arema sebagai klub swasta dengan kantong pas-pasan, menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap hegemoni penguasa. Arema dianggap sebagai klub plat kuning, klub milik masyarakat. Sedangkan klub asal Malang lainnya, Persema Malang dianggap sebagai klub penguasa alias klub plat merah.

Persema dengan curahan APBD berbanding terbalik dengan Arema yang harus menghidupi diri dari tiket dan sponsor, sesuatu yang masih belum ‘lazim’ terjadi di klub-klub sepakbola Indonesia tahun 1987 sampai medio 2000-an, di mana sumber dana klub mayoritas dari APBD dan perusahaan.

Perbedaan perlakuan antara Persema dengan Arema tidak membuat Arema tenggelam, tapi justru membuat pendukungnya semakin banyak.

Aremania jugalah yang turut menjaga Kota Malang dari kerusuhan di tahun 1998 ketika banyak kota besar di Jawa “membara”, namun Malang tetap terjaga.

Aremania juga yang di tahun 1997-an memulai transformasi suporter Indonesia dari yang kerjanya tawuran dan merusuh, menjadi berkreasi di tribune. Adalah Juan Rubio (pemain asing Arema asal Chile) yang menularkan virus suporter kreatif kepada Aremania, yang bersangkutan selain menceritakan, juga membawakan video-video kreasi suporter Chile.

Contoh paling nyata adalah lagu/chant “Ayo Arema” yang kemudian terpakai oleh supporter Indonesia menjadi “Yo Ayo Garuda, sore ini kita harus menang”.

Kedua lagu tersebut berasal dari lagu “Vamos Chilenos” milik suporter Chile. Tak percaya? Tonton saja laga kandang Chile (di Youtube), pasti ada lagu tersebut.

“Pembaptisan” Aremania menjadi suporter nasional kreatif seingat saya terjadi pada babak 8 Besar Liga Indonesia tahun 2000. Saat itu ribuan Aremania yang ke Jakarta mendapat simpati publik ibu kota dan nasional karena sikapnya yang seakan berkebalikan dengan citra suporter sepakbola.

Virus suporter kreatif (dan cinta damai) kemudian menular ke banyak kelompok suporter lain.

Meski begitu, Aremania bukan 100% suci tanpa dosa. Sebagai kelompok massa, tentunya ada saja ulah Aremania. Kalau Bang Akmal Marhali dari SOS (Save Our Soccer) mencatat beberapa aksi anarkis Aremania seperti kejadian Kediri 2008 dan beberapa kejadian aktual lainnya.

Maka saya pun mencatat adanya tawuran besar-besaran antara Aremania dengan Bonek di sekitar Pasuruan maupun di Stasiun Malang, Stasiun Gubeng dan tempat lain di Jawa Timur. Belum lagi tragedi Madiun disaster yang turut memakan korban jiwa.

Namun satu hal unik yang perlu jadi catatan penting adalah Aremania tidak pernah merusak stadion dan kota/kabupaten Malang. Bahkan kejadian Kanjuruhan 2022 pun bench pemain dan fasilitas Stadion Kanjuruhan lain masih utuh. Kerusakan ada di area pintu-pintu maupun pagar ketika lokasi tersebut banyak terjadi desak-desakan yang berujung petaka.

Fakta lain adalah tidak adanya suporter tim lawan yang meninggal dunia di Malang (Gajayana dan Kanjuruhan) akibat kerusuhan atau tawuran antar suporter. Berani adu data, di Jakarta dan Bandung atau beberapa kota lain ada temuan kasus suporter tim lawan menjadi korban meninggal dunia di area stadion. Suporter Semen Padang dan Persib Bandung pernah menjadi korban di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta. Dan yang belum lama meninggalnya Haringa Sirila (suporter Persija Jakarta) di Stadion Gelora Bandung Lautan Api.

Sanksi kepada Aremania (jika ada) pasca tragedi Kanjuruhan 2022 saya rasa harus jelas. Jangan cuma mentok di sanksi kepada kelompok supporter sementara banyak orang yang menjadi korban justru bukan bagian dari Aremania yang masuk lapangan atau berbuat rusuh.

Sanksi harus meniru sanksi di negara yang sepak bolanya maju, yakni kepada pribadi-pribadi yang melakukan kerusuhanlah yang harus menerima hukum, baik administrasi maupun pidana sesuai perbuatan mereka. Sementara, mereka yang tidak bersalah biarkan saja tetap bisa mendukung klub mereka.

Mereka yang masuk lapangan, melempar flare, dan menyerang pemain/petugas saja yang dihukum sekaligus sebagai efek deterence kepada mereka yang berniat melakukan hal sama.

Caranya bagaimana? Kalau tahun 2000-an saja Inggris bisa mengidentifikasi dan merumuskan hukuman kepada penonton secara pribadi, maka tahun 2022 harusnya semua lebih mudah. Bisa dari CCTV atau dari kamera-kamera amatir yang bahkan sudah banyak terunggah di YouTube, Tiktok, atau media lainnya.

Cara yang sama bisa juga berlaku untuk mencari oknum petugas yang bertindak di luar arahan pimpinan maupun di luar batas aturan. (📝: Wearemania)


SALAM SATU JIWA!

Sebuah Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan

By Nunik Cho.

Pakarang; Desain website oleh Cahaya TechDevKlub Cahaya

Sisi Lain Tragedi Kanjuruhan
About the author : Cahaya Hanjuang
Digital Business Community
Tagged on:

Get involved!

Get Connected!
Come and join our community. Expand your network and get to know new people!

Comments

No comments yet